ICHSANUDDIN ISMA, SE, MM

VIRA CAKTI YUDHA 85

Kamis, 30 April 2009

MANAJEMEN KONFLIK DALAM ORGANISASI

Abstrak

Terjadinya konflik dalam setiap organisasi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini terjadi karena di satu sisi orang-orang yang terlibat dalam organisasi mempunyai karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang berbeda-beda. Di sisi lain adanya saling ketergantungan antara satu dengan yang lain yang menjadi karakter setiap organisasi. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik dapat menguntungkan organisasi sebagai suatu kesatuan. Dalam menata konflik dalam organisasi diperlukan keterbukaan, kesabaran serta kesadaran semua fihak yang terlibat maupun yang berkepentingan dengan konflik yang terjadi dalam organisasi.

1. Pengertian Konflik.

Konflik dapat diartikan sebagai ketidak setujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk persoalannya dari pandangan mereka

2. Macam-macam Konflik.
Konflik yang terjadi dalam suatu organisasi dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :

a. Dari segi fihak yang terlibat dalam konflik. Dari segi ini konflik dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

1) Konflik individu dengan individu. Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan individu pimpinan dari berbagai tingkatan. Individu pimpinan dengan individu karyawan maupun antara inbdividu karyawan dengan individu karyawan lainnya.

2) Konflik individu dengan kelompok. Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan kelompok ataupun antara individu karyawan dengan kempok pimpinan.

3) Konflik kelompok dengan kelompok. Ini bisa terjadi antara kelompok pimpinan dengan kelompok karyawan, kelompok pimpinan dengan kelompok pimpinan yang lain dalam berbagai tingkatan maupun antara kelompok karyawan dengan kelompok karyawan yang lain.

b. Dari segi dampak yang timbul. Dari segi dampak yang timbul, konflik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konflik fungsional dan konflik infungsional. Konflik dikatakan fungsional apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi organisasi, sebaliknya disebut infungsional apabila dampaknya justru merugikan organisasi. Konflik dapat menjadi fungsional apabila dikelola dan dikendalikan dengan baik. Contoh konflik yang fungsional dengan kasus seorang manajer perusahaan yang menghadapi masalah tentang bagaimana mengalokasikan dana untuk meningkatkan penjualan masing-masing jenis produk. Pada saat itu setiap produk line berada pada suatu devisi. Salah satu cara pengalokasian mungkin dengan memberikan dana tersebut kepada devisi yang bisa mengelola dana dengan efektif dan efisien. Jadi devisi yang kurang produktif tidak akan memperoleh dana tersebut. Tentu saja di sini timbul konflik tentang pengalokasian dana. Meskipun dipandang dari fihak devisi yang menerima alokasi dana yang kurang, konflik ini dipanang infungsional, tetapi dipandang dari perusahaan secara keseluruhan konflik ini adalah fungsional, karena akan mendorong setiap devisi untuk lebih produktif. Manfaat yang mungkin timbul dari contoh kasus di atas antara lain :

1) Para manajer akan menemukan cara yang lebih efisien dalam menggunakan dana.

2) Mereka mungkin bisa menemukan cara untuk menghemat biaya.

3) Mereka meningkatkan prestasi masing-masing devisi secara keseluruhan sehingga bisa tersedia dana yang lebih besar untuk mereka semua.

Meskipun demikian, mungkin juga timbul akibat yang tidak fungsional, di mana kerjasama antara kepala devisi menjadi rusak karena konflik ini
Setiap konflik, baik fungsional maupun infungsional akan menjadi sangat merusak apabila berlangsung terlalu jauh. Apabila konflik menjadi di luar kendali karena mengalami eskalasi, berbagai perilaku mungkin saja timbul. Pihak-pihak yang bertentangan akan saling mencurigai dan bersikap sinis terhadap setiap tindakan pihak lain. Dengan timbulnya kecurigaan, masing-masing pihak akan menuntut permintaan yang makin berlebihan dari pihak lain. Setiap kegagalan untuk mencapai hal yang diinginkan akan dicari kambing hitam dari pihak lain dan perilaku pihaknya sendiri akan selalu dibela dan dicarikan pembenarannya, bahkan dengan cara yang emosional dan tidak rasional. Pada tahap seperti ini informasi akan ditahan dan diganggu, sehingga apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa terjadi menjadi tidak diketahui. Dan segera bisa muncul usaha untuk menggagalkan kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain. Kegiatan untuk “menang” menjadi lebih dominan dari pada untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Heidjrachman dari berbagai penelitian dan percobaan ternyata ditemukan hasil-hasil yang mirip antara yang satu dengan yang lain situasi, yang timbul akibat adanya konflik, baik konflik yang fungsional maupun konflik yang infungsional. Di antaranya yang penting adalah :

a. Timbulnya kekompakan di antara anggota-anggota kelompok yang mempunyai konflik dengan kelompok yang lain.

b. Munculnya para pimpinan dari kelompok yang mengalami konflik.

c. Ada gangguan terhadap persepsi para anggota atau kelompok yang mengalami konflik.

d. Perbedaan antara kelompok yang mengalami konflik nampak lebih besar dari pada yang sebenarnya, sedangkan perbedaan pendapat antar individu dalam masing-masing kelompok tampak lebih kecil dari pada yang sebenanya.

e. Terpilihnya “wakil-wakil” yang kuat dari pihak-pihak yang mengalami konflik.

f. Timbulnya ketidakmampuan untuk berfikir dan menganalisa permasalahan secara jernih.

3. Sebab-sebab Timbulnya Konflik.
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya konflik dalam suatu organisasiantara lain adalah :

a. Berbagai sumber daya yang langka. Karena sumber daya yang dimiliki organisasi terbatas / langka maka perlu dialokasikan. Dalam alokasi sumber daya tersebut suatu kelompok mungkin menerima kurang dari kelompok yang lain. Hal ini dapat menjadi sumber konflik.

b. Perbedaan dalam tujuan. Dalam suatu organisasi biasanya terdiri dari atas berbagai macam bagian yang bisa mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Perbedaan tujuan dari berbagai bagian ini kalau kurang adanya koordinasi dapat menimbulkan adanya konflik. Sebagai contoh : bagian penjualan mungkin ingin meningkatkan valume penjualan dengan memberikan persyaratan-persyaratan pembelian yang lunak, seperti kredit dengan bunga rendah, jangka waktu yang lebih lama, seleksi calon pembeli yang tidak terlalu ketat dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh bagian penjualan semacam ini mungkin akan mengakibatkan peningkatan jumlah piutang dalam tingkat yang cukup tinggi. Apabila hal ini dipandang dari sudut keuangan, mungkin tidak dikehendaki karena akan memerlukan tambahan dana yang cukup besar.

c. Saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan. Organisasi merupakan gabungan dari berbagai bagian yang saling berinteraksi. Akibatnya kegiatan satu pihak mungkin dapat merugikan pihak lain. Dan ini merupakan sumber konflik pula. Sebagai contoh : bagian akademik telah membuat jadwal ujian beserta pengawanya, setapi bagian tata usaha terlambat menyampaikan surat pemberitahuan kepada para pengawas dan penguji sehingga mengakibatkan terganggunya pelaksanaan ujian.

4. Perbedaan dalam nilai atau persepsi. Perbedaan dalam tujuan biasanya dibarengi dengan perbedaan dalam sikap, nilai dan persepsi yang bisa mengarah ke timbulnya konflik. Sebagai contoh : seorang pimpinan muda mungkin merasa tidak senang sewaktu diberi tugas-tugas rutin karena dianggap kurang menantang kreativitasnya untuk berkembang, sementara pimpinan yang lebih senior merasa bahwa tugas-tugas rutin tersebut merupakan bagian dari pelatihan.

5. Sebab-sebab lain. Selain sebab-sebab di atas, sebab-sebab lain yang mungkin dapat menimbulkan konflik dalam organisasi misalnya gaya seseorang dalam bekerja, ketidak jelasan organisasi dan masalah-masalah komunikasi.

4. Penanganan Konflik

a. Metode Untuk Menangani Konflik.

Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah pertama dengan mengurangi konflik; kedua dengan menyelesaikan konflik. Untuk metode pengurangan konflik salah satu cara yang sering efektif adalah dengan mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down). Meskipun demikian cara semacam ini sebenarnya belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat “musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam kelompok tersebut bersatu untuk menghadapi “musuh” tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan perhatian para anggota kelompok yang sedang mengalami konflik.
Cara kedua dengan metode penyelesaian konflik. Cara yang ditempuh adalah dengan mendominasi atau menekan, berkompromi dan penyelesaian masalah secara integratif.

1. Dominasi (Penekanan). Dominasi dan penekanan mempunyai persamaan makna, yaitu keduanya menekan konflik, dan bukan memecahkannya, dengan memaksanya “tenggelam” ke bawah permukaan dan mereka menciptakan situasi yang menang dan yang kalah. Pihak yang kalah biasanya terpaksa memberikan jalan kepada yang lebih tinggi kekuasaannya, menjadi kecewa dan dendam. Penekanan dan dominasi bisa dinyatakan dalam bentuk pemaksaan sampai dengan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (voting).

2. Kompromi. Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik ( win-win solution ). Cara ini lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan atau berkonflik

3. Penyelesaian secara integratif. Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bisa dipecahkan dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem solving). Pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi. Meskipun hal ini merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan persoalan.

b. Konflik Antara Karyawan dengan Pimpinan. Konflik jenis ini relatif sulit karena sering tidak dinyatakan secara terbuka. Umumnya karyawan pihak karyawan lebih cenderung untuk diam, meskipun mengalami pertentangan dengan pihak atasan. Yang penting bagi suatu organisasi adalah agar setiap konflik hendaknya bisa diselesaikan dengan baik. Kebanyakan suatu konflik menjadi makin berat karena lama terpendam. Karena itulah penting bagi suatu organisasi “menemukan” konflik atau sumbernya sedini mungkin. Cara yang ditempuh adalah dengan menggalakkan saluran komunikasi ke atas ( up ward channel of communication ). Menurut Heidjrachman Ranupandojo ada beberapa cara yang bisa dipakai untuk menemukan konflik atau sumbernya, yaitu :

1. Membuat prosedur penyelesaian konflik (grievance procedure)
Dengan adanya “grievance procedure” ini memberanikan karyawan untuk mengadu kalau dirasakan adanya ketidak adilan. Keberanian untuk segera memberitahukan masalah, merupakan suatu keuntungan bagi organisasi/perusahaan.

2. Observasi langsung. Tidak semua konflik disuarakan oleh karyawan. Oleh karena itu ketajaman observasi dari pimpinan akan dapat mendeteksi ada tidaknya suatu (sumber) konflik, sehingga dapat segera ditangani sebelum mengalami eskalasi.

3. Kotak saran (suggestion box). Cara semacam ini banyak digunakan oleh perusahaan atau lembaga-lembaga lain. Cara ini cukup efektif karena para karyawan ataupun para pengadu tidak perlu bertatap muka dengan pimpinan. Bahkan bisa merahasiakan identitasnya. Namun, lembaga juga harus hati-hati karena adanya kemungkinan adanya “fitnah” dari kotak saran tersebut.

4. Politik pintu terbuka. Politik pintu terbuka memang sering diumumkan, tetapi hasilnya sering tidak memuaskan. Hal ini sering terjadi karena pihak pimpinan tidak sungguh-sungguh dalam “membuka” pintunya. Paling tidak ini dirasakan oleh karyawan. Juga adanya keseganan dari pihak karyawan sering menjadi penghalang terhadap keberhasilan cara semacam ini.

5. Mengangkat konsultan personalia. Konsultan personalia pada umumnya seorang ahli dalam bidang psikologi dan biasanya merupakan staf dari bagian personalia. Kadang-kaang karyawan segan pergi menemui atasannya, tetapi bisa menceritakan kesulitannya pada konsultan psikologi ini.

6. Mengangkat “ombudsman”. Ombudsman adalah orang yang bertugas membantu “mendengarkan” kesulitan-kesulitan yang ada atau dialami oleh karyawan untuk diberitahukan kepada pimpinan. Ombudsman biasanya adalah orang yang disegani karena kejujuran dan keadilannya.

c. Langkah-langkah Manajemen Untuk Menangani Konflik.

1. Menerima dan mendefinisikan pokok masalah yang menimbulkan ketidak puasan. Langkah ini sangat penting karena kekeliruan dalam mengetahui masalah yang sebenarnya akan menimbulkan kekeliruan pula dalam merumuskan cara pemecahannya.

2. Mengumpulkan keterangan/fakta. Fakta yang dikumpulkan haruslah lengkap dan akurat, tetapi juga harus dihindari tercampurnya dengan opini atau pendapat. Opini atau pendapat sudah dimasuki unsur subyektif. Oleh karena itu pengumpulan fakta haruslah dilakukan denganm hati-hati

3. Menganalisis dan memutuskan. Dengan diketahuinya masalah dan terkumpulnya data, manajemen haruslah mulai melakukan evaluasi terhadap keadaan. Sering kali dari hasil analisa bisa mendapatkan berbagai alternatif pemecahan.

4. Memberikan jawaban. Meskipun manajemen kemudian sudah memutuskan, keputusan ini haruslah dibertahukan kepada pihak karyawan.

5. Tindak lanjut. Langkah ini diperlukan untuk mengawasi akibat dari keputusan yang telah diperbuat.

5. Pendisiplinan.
Konflik dalam organisasi apabila tidak ditangani dengan baik bisa menimbulkan tindakan pelecehan terhadap aturan main yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu pelecehan ataupun pelanggaran terhadap peraturan permainan (peraturan organisasi) haruslah dikenai tindakan pendisiplinan agar peraturan tersebut memiliki wibawa.

a. Macam-macam Tindakan Pendisiplinan. Tindakan pendisiplinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pendisiplinan yang bersifat positif dan yang bersifat negatif. Yang positif adalah dengan memberi nasihat untuk kebaikan pada masa yang akan datang, sedangkan cara-cara yang negatif mulai dari yang ringan sampai yang berat, antara lain dengan :

1. Diberi peringatan secara lisan.

2. Diberi peringatan secara tertulis.

3. Dihilangkan/dikurangi sebagian haknya.

4. Didenda.

5. Dirumahkan sementara ( lay-off ).

6. Diturunkan pangkat/jabatannya.

7. Diberhentikan dengan hormat.

8. Diberhentikan tidak dengan hormat

b. Beberapa Pedoman dalam Pendisiplinan. Menurut Heidjarachman Ranupandojo pendisiplinan perlu memperhatikan beberapa pedoman, seperti :

1. Pendisiplinan hendaknya dilakukan secara pribadi/individual
Tidak seharusnya memberikan teguran kepada bawahan di hadapan orang banyak. Hal ini akan memalukan bawahan yang ditegur (meskipun mungkin benar bersalah), sehingga bisa menimbulkan rasa dendam.

2. Pendisiplinan haruslah bersifat membangun
Memberikan teguran hendaknya juga disertai dengan saran tentang bagaimana seharusnya berbuat untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama untuk waktu yang akan datang.

3. Pendisiplinan haruslah dilakukan oleh atasan langsung dengan segera. Jangan menunda-nunda pemberian pendisiplinan sampai masalahnya terlupakan. Sewaktu kesalahan masih segar teguran akan lebih efektif daripada diberikan selang beberapa waktu.

4. Keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan
Suatu kesalahan yang sama hendaknya diberikan hukuman yang sama pula. Jangan melakukan pendisiplinan dengan pilih kasih

5. Pimpinan tidak seharusnya memberikan pendisiplinan pada waktu bawahan sedang absen.

6. Setelah pendisiplinan sikap pimpinan haruslah wajar kembali.
Tidak dibenarkan apabila setelah melakukan pendisiplinan pimpinan tetap bersikap membenci bawahan yang telah melakukan kesalahan. Rasa membenci hanya akan menimbulkan perlakuan yang tidak adil.

6. Kesimpulan.

Kehadiran konflik dalam suatu organisasi tidak dapat dihindarkan tetapi hanya dapat dieliminir. Konflik dalam organisasi dapat terjadi antara individu dengan individu, baik individu pimpinan maupun individu karyawan, konflik individu dengan kelompok maupun konflik antara kelompok tertentu dengan kelompok yang lain. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik dapat berujung pada keuntungan organisasi sebagai suatu kesatuan, sebaliknya apabila konflik tidak ditangani dengan baik serta mengalami eskalasi secara terbuka dapat merugikan kepentingan organisasi.

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN PERILAKU KERJA BAWAHAN

Oleh : Kapten Adm Ichsanuddin Isma, S.E, MM


Konseptualisasi kepemimpinan transformasional dan mencoba membangun model yang tepat (fit) atas hubungan antara berbagai bentuk perilaku kerja, yaitu perilaku-perilaku pemimpin transformasional, motivasi kerja, kepuasan kerja, komitmen organisasional, organizational citizenship behavior (OCB) dan keinginan berpindah. Suatu penelitian empiris dalam bidang ini menghasilkan kesimpulan bahwa suatu bentuk perilaku kerja merupakan hasil atau konsekuensi dan sekaligus juga akan mempengaruhi perilaku kerja lainnya. Namun situasi yang berlaku di lapangan cenderung menggunakan konseptualisasi yang berbeda-beda dan belum adanya komprehenship mengintegrasikan bentuk-bentuk perilaku kerja tersebut ke dalam satu model yang fit. Kegiatan yang ada cenderung memberikan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda atas hubungan-hubungan antara berbagai konstruk perilaku kerja tersebut sehingga pada bagian ini akan dicoba menutupi kesenjangan konseptual di bidang ini, dengan menawarkan beberapa konsepsi dimensi perilaku pemimpin transformasional dan proposisi-proposisi yang siap telaah ke dalam sebuah investigasi empiris.
Kepemimpinan merupakan salah satu elemen penting dalam mencapai, mempertahankan dan meningkatkan kinerja organisasi. Koseptualisasi teori-teori kepemimpinan, telah menarik perhatian dan diskusi panjang para peneliti dan para praktisi. Menurut Pawar dan Eastman (1997), penelitian tentang kepemimpinan lebih ditekankan pada kepemimpinan transformasional. Penelitian di bidang ini telah dilakukan baik dalam rangka mencari konsepsi yang tepat terhadap gaya kepemimpinan yang paling efektif maupun prasyarat-prasyarat kontekstual yang harus diciptakan agar proses kepemimpinan tersebut efektif.
Namun demikian, penelitian-penelitian di bidang ini belum mampu merumuskan dimensi-dimensi perilaku pemimpin transformasional yang dapat diterima dan dipergunakan secara luas di kalangan para peneliti lainnya. Sebagai contoh, Egri dan Herman (2000) menggunakan 9 faktor perilaku pemimpin transformasional; Podsakoff et al. (1996) menggunakan 6 faktor; Judge dan Bono (2000), dan Sosik dan Godshalk (2000) menggunakan 4 faktor; sedangkan Kirkpatrik dan Locke (1996), Bycio et al. (1995), dan Howell dan Avolio (1993) hanya menggunakan 3 faktor. Lebih jauh, konseptualisasi dimensi-dimensi perilaku pemimpin transformasional masih bercampur dengan konstruk kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership). Egri dan Herman (2000), memasukkan dimensi kharisma sebagai salah satu bentuk perilaku pemimpin tranformasional, sedangkan Judge dan Bono (2000); Sosik dan Godshalk (2000); dan Podsakoff et al. (1996), berpendapat bahwa dimensi kharisma bukan merupakan salah satu dimensi kepemimpinan transformasional.


Kompleksitas dinamika kehidupan organisasi menghasilkan berbagai bentuk perilaku yang diperankan oleh para anggotanya. Perilaku-perilaku kerja karyawan telah menjadi subjek penelitian yang menarik minat para peneliti dan akademisi. Penelitian-penelitian di bidang ini dilakukan terutama untuk membangun konsepsi-konsepsi yang berguna sebagai masukan-masukan dalam menetapkan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan dalam bidang manajemen sumberdaya manusia (MSDM), maupun dalam rangka mengembangkan pokok-pokok pengetahuan.
Kepemimpinan transformasional telah menghasilkan kesimpulan bahwa perilaku-perilaku pemimpin transformasional mampu membangkitkan motivasi kerja dan kepuasan kerja karyawannya. Baik motivasi kerja maupun kepuasan kerja karyawan sangat penting artinya bagi organisasi. Pemimpin tranformasional juga diyakini mampu membangun komitmen organisasional karyawan melalui upaya-upaya untuk memberdayakan dan mentransformasi para bawahannya. Demikian juga, penelitian-penelitian tentang kepemimpinan transformasional membuktikan (Podsakoff et al., 1996) bahwa perilaku pemimpin transformasional dapat mendorong para bawahannya untuk memerankan organizational citizenship behavior (OCB). OCB merupakan salah satu bentuk perilaku di luar peran kerja resmi karyawan yang sangat bermanfaat bagi keefektifan organisasi dalam jangka panjang.
Konstruk perilaku kerja bawahan lainnya yang juga dihubungkan dengan perilaku pemimpin transformasional adalah keinginan berpindah. Keinginan berpindah merupakan keinginan (intention) seseorang untuk secara aktual berpindah (turnover) dari organisasi tempat ia bergabung saat ini (Good et al., 1996). Motivasi kerja, kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan OCB merupakan penyebab-penyebab yang dapat mempertinggi atau menurunkan tingkat keinginan berpindah karyawan.
Namun hingga saat ini, penelitian-penelitian tentang kepemimpinan dan perilaku kerja karyawan masih belum merumuskan hubungan-hubungan yang lebih komprehensip antara berbagai dimensi perilaku pemimpin transformasional dengan berbagai bentuk perilaku kerja bawahan, seperti yang disebutkan di muka. Kesenjangan lainnya yang belum terjembatani adalah penggunanaan data masih cenderung berfokus pada sektor tertentu. Kesimpulan-kesimpulan dan temuan-temuan yang dihasilkan tersebut, tidak bisa digeneralisasi secara langsung pada kelompok lainnya. Karenanya, pengembangan pokok-pokok pengetahuan memerlukan replikasi-replikasi pada sektor yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penelitian di bidang ini memerlukan investigasi lebih lanjut, pertama, untuk melakukan konseptualisasi terhadap dimensi-dimensi perilaku pemimpin transformasional, dan kedua, untuk mendapatkan model yang fit atas hubungan antara perilaku-perilaku pemimpin transformasional, motivasi kerja, kepuasan kerja, komitmen organisasional, OCB dan keinginan berpindah.
Konseptualisasi perlu dilakukan untuk mendapatkan ukuran-ukuran yang tepat terhadap konstruk perilaku-perilaku pemimpin transformasional. Penelitian-penelitian terdahulu menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda terhadap dimensi-dimensi perilaku pemimpin transformasional. Konseptualisasi diharapkan mampu menyediakan instrumen yang valid dan reliabel, yang dapat dipergunakan pada penelitian-penelitian sejenis di masa yang akan datang.

KOSEPTUALISASI PERILAKU KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

Para peneliti menggunakan konseptualisasi yang berbeda-beda terhadap konstruk perilaku pemimpin transformasional. Sebagian peneliti (Egri dan Herman, 2000; Kirkpatrik dan Locke, 1996; Bycio et al., 1995; dan Howell dan Avolio, 1993) berpendapat bahwa dimensi kharisma merupakan salah satu bentuk perilaku pemimpin tansformasional. Sedangkan beberapa peneliti lainnya (Judge dan Bono, 2000; Sosik dan Godshalk, 2000; dan Podsakoff et al., 1996) memandang bahwa kharisma terpisah dari ciri-ciri pemimpin transformasional.
Konstruk lainnya yang juga timbul dalam konseptualisasi kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan strategik (strategic leadership). Pawar dan Eastman (1997) berpendapat bahwa kepemimpinan strategik merupakan tingkatan konstruk kepemimpinan yang lebih luas, dengan kepemimpinan transformasional salah satu bagiannya. Lebih jauh, menurut Pawar dan Eastman (1997), tumpang-tindih antara konstruk kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan kharismatik antara lain disebabkan karena konstruk kepemimpinan transformasional cenderung diperluas dengan beberapa ciri tambahan, yaitu proses penciptaan kharisma (dengan manajemen pengaruh) dan proses transformasional (dengan mempersatukan kepentingan-kepentingan individu dan kolektif).
Konseptualisasi yang berbeda ini, disebabkan karena sebagian peneliti menggunakan instrument Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) yang dikembangkan oleh Bass dan Avolio (1995), sebagian lainnya menggunakan Transformasional Leadership Behavior Inventory (TLI) yang dikembangkan Podsakoff et al. (1990), dan beberapa peneliti lainnya menggunakan Eight Leadership Roles yang dikembangkan oleh Quinn (1988). Karena itu, untuk membangun konsepsi yang lebih baik, diperlukan upaya-upaya untuk mengintegrasikan, atau setidaknya melakukan kompilasi terhadap item-item pertanyaan kuesioner yang digunakan untuk mengukur dimensi-dimensi perilaku pemimpin transformasional.

PEMODELAN HUBUNGAN PERILAKU PEMIMPIN TRANSFORMASIONAL DENGAN PERILAKU KERJA BAWAHAN

Teori kepemimpinan transformasional, pertama kali dikemukakan oleh Bernard M. Bass, yang dibangun di atas gagasan-gagasan yang lebih awal yang dikemukakan oleh Burns (Yulk, 1994; Pawar dan Eastman, 1997). Burns (dalam Pawar dan Eastman, 1997), mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses untuk mencapai tujuan kolektif, melalui penyatuan motif-motif yang saling menguntungkan yang dimiliki pemimpin dan bawahan dalam rangka mencapai perubahan yang diinginkan. Sementara Greenberg dan Baron (2000), mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai suatu perilaku kepemimpinan yang dengannya seorang pemimpin menggunakan kharismanya untuk mentransformasi dan merevitalisasi organisasi.

Menurut Yulk (1994), formasi asli teori kepemimpinan transformasional yang dikemukakan oleh Bernard M. Bass mencakup tiga komponen utama, yaitu kharisma, stimulasi intelektual, dan perhatian yang berorientasi individu. Kharisma didefinisikan sebagai suatu proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan cara membangkitkan emosi-emosi dan identifikasi yang kuat terhadap pemimpinnya. Simulasi intelektual merupakan proses di mana peran utama seorang pemimpin adalah untuk meningkatkan kesadaran para pengikutnya terhadap masalah-masalah yang ada di sekeliling mereka, dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah-masalah tersebut dari sudut pandang yang baru. Perhatian yang berorientasi individual, termasuk memberi dukungan, membesarkan hati, dan berbagi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan diri kepada para pengikutnya. Jadi, teori kepemimpinan transformasional dicirikan dengan suatu kondisi di mana para pemimpin memotivasi para pengikutnya melalui: membuat mereka sadar akan pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan; mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau kelompok (tim) di atas kepentingan pribadi; dan mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan mereka pada tingkatan yang lebih tinggi.

Motivasi Kerja

Motivasi kerja didefinisikan sebagai suatu proses yang dengannya perilaku kerja seseorang diberi energi (energized), diarahkan, dan dipertahankan di dalam kehidupan kerja dan organisasi (Steer dan Proter, dalam Leonard et al. [1999]). Motivasi kerja seseorang dapat bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi internal), maupun karena faktor-faktor yang berasal dari luar (motivasi eksternal). Mujiasih dan Hadi (2003) menemukan bahwa perilaku pemimpin transformasional dapat mempertinggi motivasi seseorang untuk mengeluarkan usaha ekstra (extra-effort) untuk mencapai kinerja yang direncanakan. Hasil ini sejalan dengan konsepsi tentang kepemimpinan transformasional, yang berasumsi bahwa pemimpin transformasional berusaha untuk membangkitkan kebutuhan para bawahannya pada tingkatan yang lebih tinggi. Judge dan Bono (2000) menemukan bahwa individu-individu yang mempersepsikan bahwa pemimpinnya memerankan perilaku-perilaku kepemimpinan transformasional cenderung memiliki tingkat motivasi kerja yang lebih tinggi.

Proposisi

Proposisi 1 : Perilaku-perilaku pemimpin transformasioanal secara positif mempengaruhi motivasi kerja bawahan. Kepuasan Kerja, Penelitian tentang kepemimpinan transformational menghasilkan kesimpulan bahwa perilaku pemimpin secara signifikan berhubungan dengan perilaku dan tanggapan para pengikut, seperti kepuasan karyawan, usaha-usaha untuk pelaporan diri, kinerja pelaksanaan tugas, dan kejelasan peran akan menemukan bahwa perilaku-perilaku pemimpin transformasional mempengaruhi kepuasan kerja dan kepuasan bawahan terhadap pemimpinnya. Individu-individu yang mempersepsikan bahwa pemimpinnya memerankan perilaku-perilaku kepemimpinan transformasional cenderung memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi. Penjelasan bahwa adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan perilaku-perilaku pemimpin transformasional ini disebabkan karena salah satu aspek kepuasan kerja adalah pengawasan (supervision). Pengawasan yang disediakan pemimpin melalui perhatian individual, dan motivasi inspirasional akan memampukan para bawahan untuk melakukan pekerjaannya dengan baik.

Proposisi 2 : Perilaku-perilaku kepemimpinan transformasional secara positif mempengaruhi kepuasan kerja bawahan. Komitmen Organisasional, Konstruk kepemimpinan transformasional juga berpengaruh secara langsung terhadap kinerja organisasi melalui pengaruhnya pada anggota-anggota organisasi dalam rangka mendapatkan penerimaan, dukungan, komitmen dan keterlibatan mereka dalam perubahan organisasional melalui perilaku-perilaku kharisma, pengartikulasian visi dan penekanan perhatian secara individual menyimpulkan bahwa untuk menumbuhkan komitmen para anggota organisasi terhadap perubahan, dapat dilakukan dengan menerapkan kepemimpinan transformasional, khususnya dengan perilaku-perilaku mengartikulasikan visi, menyediakan suatu model yang tepat, memupuk penerimaan tujuan-tujuan kelompok, dan perhatian individual. Keempat jenis perilaku pemimpin transformasional ini ditemukan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan komitmen karyawan.

Proposisi 3: Perilaku-perilaku pemimpin transformasional secara positif mempengaruhi komitmen organisasional karyawan. Kepuasan kerja yang dirasakan seseorang cenderung mempengaruhi tingkat komitmennya pada organisasi tempat ia bekerja. Namun demikian, masih terdapat perbedaan kesimpulan yang dihasilkan para peneliti tentang pengaruh kepuasan kerja terhadap komponen-komponen komitmen organisasional bahwa kepuasan kerja secara positif mempengaruhi komitmen afektif, kontinuan, dan normatif.

Proposisi 4 : Kepuasan kerja secara positif mempengaruhi komitmen organisasional karyawan. Organizational Citizenship Behavior, kesimpulan bahwa perilaku pemimpin transformasional secara signifikan berhubungan dengan perilaku dan tanggapan para pengikut untuk memerankan perilaku-perilaku OCB. Konseptualisasi yang dilakukan menghasilkan tiga dimensi konstruk OCB, yaitu loyalitas, kepatuhan dan partisipasi. Secara konseptual, perilaku-perilaku pemimpin transformasional berhubungan erat dengan tingkat loyalitas, kepatuhan dan partisipasi bawahannya. Sebagai contoh, pemimpin yang memberikan perhatian pribadi kepada para pengikut untuk memajukan pengembangan dan prestasi mereka akan cenderung mendorong para bawahan untuk terlibat secara aktif dan bertanggung-jawab dalam proses-proses organisasional. Pemimpin yang memampukan para pengikut agar memikirkan permasalahan-permasalahan lama dengan cara-cara yang baru, akan mendapatkan loyalitas dan kepatuhan bawahan. Demikian pula, pemimpin yang memperagakan model perilaku-perilaku peran bagi para pengikut melalui contoh prestasi-prestasi, karakter, dan/atau perilaku pribadi, akan mendorong karyawan untuk patuh dan loyal kepadanya.

Proposisi 5 : Perilaku-perilaku pemimpin transformasional secara positif mempengaruhi perilaku OCB bawahan. Kepuasan kerja karyawan merupakan determinan penting yang mendorong seseorang memperlihatkan perilaku OCB, di samping komitmen organisasional. Kepuasan kerja adalah segala sesuatu yang menyenangkan atau sisi hasil emosional positif bawahan terhadap penilaian pekerjaan atau pengalaman kerjanya. Kepuasan kerja seseorang ditentukan oleh perbedaan antara semua yang diharapkan dengan semua yang dirasakan dari pekerjaannya atau semua yang diterimanya secara aktual. Individu-individu yang mendapatkan kepuasan dalam pekerjaannya, akan cenderung memaknai pekerjaan dan tugas-tugas yang ia laksanakan dengan penuh tanggung-jawab dan dedikasi.

Proposisi 6 : Kepuasan Kerja secara positif mempengaruhi perilaku OCB bawahan. Bukti-bukti empiris tentang pengaruh komitmen organisasional terhadap OCB telah banyak disajikan namun demikian, konseptualisasi komitmen organisasional yang digunakan umumnya masih bersifat unidimensional, yang memandang bahwa komitmen seseorang kepada organisasi tempat ia bekerja sebagai satu dimensi saja. Instrumen yang digunakan adalah Organizational Commitment Questionnaire (OCQ). Padahal penggunaan konstruk komitmen oragnisasional yang multi dimensional diperlukan untuk membangun definisi komitmen organisional yang bersifat integratif.

Proposisi 7 : Komitmen Organisasional secara positif mempengaruhi perilaku OCB bawahan. Keinginan Berpindah, menemukan bahwa perilaku-perilaku pemimpin transformasional berhubungan secara negatif dengan keinginan karyawan untuk meninggalkan profesi dan pekerjaannya saat ini. Kepemimpinan transformasional juga berhubungan secara negatif dengan keinginan berpindah karyawan melalui perilaku pengaruh yang ideal. Pemimpin yang memperagakan model perilaku-perilaku peran bagi para pengikut melalui contoh prestasi-prestasi, karakter, dan/atau perilaku pribadi, akan cenderung menurunkan tingkat keinginan berpindah karyawan.

Proposisi 8 : Perilaku-perilaku pemimpin transformasional secara negatif mempengaruhi keinginan berpindah karyawan. Seorang karyawan yang memiliki motivasi kerja yang tinggi akan cenderung memiliki keinginan berpindah yang relatif rendah. Hal ini disebabkan karena motivasi yang diperlihatkan mengisyaratkan bahwa seorang karyawan berusaha untuk mencapai kinerja yang lebih baik, karir yang lebih tinggi, penghargaan dan pengakuan atas hasil-hasil kerjanya. Pada saat yang sama, individu tersebut mengharapkan kinerja, karir maupun penghargaan dan pengakuan yang ia dapatkan dari organisasi menjadikannya betah dan merasa puas dengan pekerjaan dan kehidupan organisasinya.

Proposisi 9 : Motivasi kerja secara negatif mempengaruhi keinginan berpindah karyawan. Hubungan kepuasan kerja dan keinginan berpindah di kalangan karyawan juga cenderung menghasilkan kesimpulan bahwa kepuasan kerja secara negatif mempengaruhi keinginan berpindah.
Proposisi 10 : Kepuasan Kerja secara negatif mempengaruhi keinginan berpindah karyawan. Penelitian-penelitian empiris yang menghubungkan komitmen organisasional dan keinginan berpindah menemukan bahwa komitmen afektif dan normatif mempengaruhi keinginan berpindah, namun tidak menemukan pengaruh yang signifikan antara komitmen kontinuan dan keinginan berpindah.

Proposisi 11 : Komitmen organisasional secara negatif mempengaruhi keinginan berpindah karyawan. OCB merupakan salah satu bentuk perilaku extra role, perilaku yang tidak termasuk sebagai salah satu peran kerja resmi seseorang. Karenanya OCB merupakan peran yang dilakukan secara sukarela. Individu-individu yang memperlihatkan perilaku OCB cenderung memiliki tingkat keinginan berpindah yang lebih rendah dibandingkan individu-individu yang tidak memperlihatkan perilaku OCB. Individu-individu yang menunjukkan tingkat partisipasi, loyalitas dan kepatuhan dalam proses-proses organisasional akan merasakan adanya rasa memiliki (sense of belonging) terhadap organisasi tempat ia bekerja, dan karenanya, akan memperlihatkan tingkat keinginan berpindah yang relatif rendah.

Demikian sekilas pola kepemimpinan transformasional yang dapat menjadikan perbandingan pola kepemimpinan dewasa ini sehingga akan didapatkan calon-calon pemimpin yang berkualitas, potensial dan dihormati oleh bawahannya dengan segala kemampuan, kapasitas dan kualitas diri. (Penulis adalah Kepala Dinas Personel Lanud Balikpapan)

Business Level Strategi (BLS)

Business Level Strategi merupakan suatu kegiatan yang terkoordinir dan terintegrasi melalui suatu komitmen dan tindakan penggunaan yang telah dipastikan untuk memperoleh keuntungan dalam suatu kompetitif dengan memanfaatkan kemampuan inti di dalam pasar produk yang spesifik.

Kemampuan inti merupakan sumber daya dan kemampuan yang telah menjadi suatu tujuan untuk menjadikan suatu sumber manfaat dalam kompetisi sesuatu produk/jasa terhadap pesaing, sedangkan strategi merupakan kegiatan yang terkoordinir dan terintegrasi dalam bentuk tindakan yang diambil dalam rangka memberi keuntungan dalam memanfaatkan kemampuan inti dan akan menjadikan suatu bentuk kompetitif.

Jadi Business Level Strategi dapat di artikan sebagai langkah mengambil tindakan untuk menyediakan nilai keuntungan dari pelanggan didalam memperoleh suatu kompetisi dengan pemanfaatan kemampuan inti yang spesifik dalam pasar produk individu.

Ada beberapa hal yang penting untuk dijadikan landasan dalam menjalankan kegiatan Business Level Strategi ini, antara lain :

1. Apa bentuk kegiatan yang terbaik dalam mengadakan barang atau memberi/melayani jasa yang akan ditawarkan kepada pelanggan.

2. Bagaimana caranya membuat atau menciptakan kegiatan yang terbaik dalam penyediaan atau pelayanan.

3. Bagaimana caranya mendistribusikan barang dan melayani jasa didalam pasar.

Peran perusahaan didalam menjalankan atau memilih suatu Business Level Strategi, harus mampu menentukan :

1. Siapa yang akan dilayani.

2. Kebutuhan apa yang dibutuhkan oleh pelanggan dan apakah akan terpenuhi.

3. Bagaimana cara memenuhi kebutuhan yang dimaksud pelanggan.

Jenis Business Level Strategi yang dapat dilaksanakan, yaitu :

1. Business Level Strategi yang dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan antara perusahaan atau bidang usaha sehubungan dengan persaingan antar perusahaan.

2. Untuk memposisikan perusahaan, maka perusahaan harus membuat keputusan apakah melaksanakan aktivitas dengan cara yang berbeda dengan pesaingnya.

Lima strategi umum dalam Business Level Strategi yang berorientasi kepada biaya dan keunikan dalam koridor manfaat kompetisi adalah : Kepemimpinan harga, perbedaan, kepemimpinan harga yang dipusatkan, perbedaan yang dipusatkan dan harga yang kepemimpinan yang terintegrasi atau perubahan didalam suatu target pasar yang luas atau target pasar yang sempit.

Dari salah satu lima strategi umum dalam Business Level Strategi ini ada suatu starategi yang menarik untuk dikaji yaitu strategi hanya mengarah pada suatu kegiatan pengadaan barang atau jasa namun berada dalam segmen target yang sempit, karena memang segmen ini diperuntukkan bagi hal-hal yang tidak lazinnya dalam segmen lebar dengan barang ataupun jasa yng spesifik untuk pasar tertentu, yaitu satrategi perbedaan yang dipusatkan dalam segmen target pasar yang sempit atau Focused Differentiation.

Strategi perberdaan merupakan suatu kegiatan yang terintegrasi dalam suatu tindakan yang dirancang dengan tujuan untuk menghasilkan sesuatu barang ataupun jasa pada suatu biaya yang bisa diterima pelanggan karena merasa sebagai suatu hal yang berbeda dalam cara ataupun produk dimana tindakan perbedaan yang diperlukan oleh strategi ini : mengembangkan sistem baru dan proses, membentuk persepsi melalui promosi, memfokus produk yang berkualitas, adanya kemampuan di dalam penelitian dan pengembangan, memaksimalkan kontribusi sumber daya manusia melalui perputaran yang rendah dan selalu berada dalam motivasi yang tinggi.

Adapun faktor-faktor yang menjadikan perbedaan terhadap startegi dan ruang target adalah sebagai berikut :

1. Kekhususan atau keunikan terhadap produk yang dihasilkan.

2. Pencapaian atau proses produksi yang unik

3. Adanya jasa atau servis yang terkecuali.

4. Menggunakan suatu teknologi yang baru.

5. Mempunyai mutu atau kualitas yang baik.

6. Menggunakan keahlian khusus

7. Menggunakan informasi yang terinci.


Sebagai aplikasi dari strategi hanya mengarah pada suatu kegiatan pengadaan barang atau jasa namun berada dalam segmen target yang sempit yaitu penjualan barang-barang atau perlengkapan TNI/Polri, dimana dalam strategi dan segmen aktivitas penjualan barang-barang atau perlengkapan TNI/Polri ini sudah pasti menggunakan strategi perbedaan yang terarah dalam segmen yang terbatas atau sempit, karena barang-barang atau perlengakapan TNI/Polri tidak akan diperjualbelikan secara bebas seperti pada strategi harga terarah dalam segmen yang luas seperti di Matahari Departement Store atau Ramayana Super Market, hal ini dikarenakan tidak semua orang berhak membeli atau menggunakan perlengakapan TNI/Polri secara umum dikarenakan adanya aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang hanya membolehkan untuk membelanjakan barang-barang atau perlengkapan hanya terbatas pada kalangan TNI/Polri sendiri, kenapa hal ini diberlakukan? Dikarenakan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perusakan citra TNI/Polri dan mengandung keberbahayaan terhadap keselamatan dan keamanan diri maupun orang lain.

Contoh kongkrit dalam hal ini adalah penjualan serangam TNI/Polri maupun sejata tajam/senjata api, barang-barang ini hanya dapat diperoleh pada segmen atau tempat penjualan yang telah memiliki ijin penjualan yang didalam operasionalnya dilindungi oleh Undang-Undang dan diikat dengan ketentuan-ketentuan atau aturan baku yang harus dilaksanakan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan, sehingga barang-barang ini hanya dapat dijumpai dan diperoleh di tempat-tempat yang telah mendapat ijin penjualan seperti di Pasar Senen Jakarta dan masing-masing koperasi disatuan-satuan yang ada.

Barang-barang maupun perlengkapan ini tidak akan pernah dijumpai seperti mall-mall yang biasanya membuka segmen secara luas, ini dikarenakan kekhususan/keunikan dari produk yang dihasilkan dan peruntukan dari barang-barang ini maupun perlengakapan ini juga ditujukan kepada kalangan-kalangan tertentu dalam hal ini hanya lingkungan TNI/Polri.

Demikian sekelumit ulasan dan contoh penerapan salah satu dari lima strategi umum yang berlaku dalam Business Level Strategi guna mencari segmen pasar yang tepat dengan konsumen yang tepat dengan pemasaran produk yang spesifik dengan pendapatan yang maksimal dalam strategi Focused Differentiation.

ICHSANUDDIN ISMA

PENUGASAN KOMUNIKASI MASSA
(Studi Kepustakaan Media Massa Republika dan Suara Pembaharuan)


1. Jelaskan secara detail apa yang diketahui tentang surat kabar Republika dan Suara Pembaruan, baik menyangkut organisasi perusahaan dan keredaksiannya, maupun isi serta gaya bahasa dari kedua surat kabar tersebut :

a. Republika. Republika merupakan koran Nasional yang pelopori penerbitannya oleh kelompok cendikiawan muslim publik di Indonesia. Penerbitan koran Republika ini merupakan bentuk dari upaya ke depan di kalangan umat Islam, khususnya para wartawan-wartawan profesional yang telah membuat beberapa perubahan baik fitur koran maupun komposisi isi berita. Di dukung oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan suatu terobosan dalam ruang gerak kebebasan pers yang dibatasi pemerintah mengajukan izin penerbitan saat itu memungkinkan adanya tujuan akhir yang jelas sehingga untuk pertama sekali oplah Republika diterbitkan pada tanggal 4 Januari 1993 dengan sambutan yang cukup positif dikalangan masyarakat. Koran ini diterbitkan oleh perusahaan PT Abdi Bangsa yang diprakarsai oleh mantan Presiden RI BJ Habibie, namun setelah BJ Habinie tidak lagi menjabat Presiden RI dan dengan berkurangnya peran politik ICMI selaku pemegang saham mayoritas PT Abdi Bangsa, maka pada akhir tahun 2000, maka mayoritas kepemilikan saham koran Republika ini di ambil alih oleh kelompok Mahaka Media. PT Abdi Bangsa selanjutnya menjadi holding company, dan Republika berada di bawah bendera PT Republika Media Mandiri, salah satu anak perusahaan PT Abdi Bangsa. Setelah terjadi pergantian kepemilikan, koran Republika tak mengalami perubahan visi maupun misi. Namun harus diakui, ada perbedaan gaya dibandingkan dengan sebelumnya. Sentuhan bisnis dan independensi Republika menjadi lebih kuat, karena itu, secara bisnis, koran ini terus berkembang. Republika menjadi makin profesional dan matang sebagai koran nasional untuk komunitas muslim Indonesia.

Susunan Redaksi Republika Tahun 2009 adalah sebagai berikut : Pemimpin redaksi : Ikhwanul Kiram Mahuri, Wakil pemimpin redaksi : Nasihin Masha, Redaktur Pelaksana : Arys Hilman, Wakil Redaktur Pelaksana : Agung Pragitya Vazza. Sedangkan Direktur Utama : Erick Thohir, Direktur Operasional dan SDM : H. Daniel Wewengkang, Direktur Pemasaran : Nuky Surachmad, Direktur Keuangan : Rachmat Yuliwinoto.

b. Suara Pembaruan. Suara pembaruan merupakan koran yang diterbitkan sebagai pengganti koran Sinar Harapan yang yang diberhentikan peradarannya pada masa era pemerintahan Pesiden Soeharto pada tahun 1986. Harian Sinar Harapan dibatalkan SIUPP – Nya pada tanggal 8 Oktober 1986, dan kemudian terbit kembali dengan nama Suara Pembaruan pada tanggal 4 Pebruari 1987. Penggantian nama ini beriringan dengan penggantian badan hukum yang mengelola penerbitan yaitu PT. Sinar Kasih sebagai penerbit Sinar Harapan diganti dengan PT. Media Interaksi Utama melalui SK Menpen RI nomor 224/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1987 dengan alamat redaksi Jl. Dewi Sartika 136-D, Jakarta dimana hampir seluruh dari wartawan Sinar Harapan ditampung, hanya pemimpin redaksi Aristides Katopo dan pimpinan umumnya H.G. Rorimpandey digantikan oleh Albert Hasibuan dikarenakan alasan operasional dan pengunduran diri.

Pimpinan umum G.R. Rorimpandey, merupakan Putra Minahasa kelahiran Poso, dan menjadi pelajar di Bandung pada masa mudanya. Ia tidak hanya menjadi pejuang dimasa perang revolusi kemerdekaan Indonesia. Tetapi lebih dari itu, membaktikan diri sebagai ”Perintis Pers Industri”. Namanya mulai mencuat ketika ditunjuk oleh kawan-kawan seperjuangannya, seperti ARSD ”Bart” Ratulangie, Ds. Wim Rumambi, Alex Wenas untuk mengelola harian Sinar Harapan, yang didirikan pada tanggal 27 April 1961 dan waktu itu berapiliasi pada Partai Parkindo, namun dalam perkembangannya media ini lebih berhaluan independen dan lebih mengarah kepada tendensius suatu agama, yaitu agama Kristen. Dalam membawa misi Kristiani dengan dasar semboyan ”Memperjuangkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Kasih”, media ini, karena begitu disegani mempertahankan nilai-nilai keadilan untuk kepentingan nasional dan rakyat banyak, hingga menjadi koran ketidakadilan di masa orde baru.

Susunan Redaksi Suara Pembaruan Tahun 2009 adalah sebagai berikut : Sebagai Dewan Redaksi : Sabam Siagian, dengan Wakil Dewan Redaksi : Dr. Sutarto, Soetikno Soedarjo, Baktinendra Prawiro, M.Sc, Dr. Anugerah Pekerti, Ir. Jonathan L Parapak, Bondan Winarno, Bara Hasibuan. Redaktur Pelaksana : Aditya L Djono, Dwi Argo Santosa dibantu oleh anggota-anggota redaktur lainnya, Sekretaris Redaktur : Rully Satriadi, Kabag Litbang, Data dan Informasi Dhewasari M Wardhani, Koordinator Tata Letak : Robert Prihatin dan Redaktur Situs Web : L. Estu Praptono.

2. Pada salah satu edisinya, Republika memuat laporan mendalam tentang diadukannya ke polisi seorang tokoh muslim yaitu Presiden PKS Tifatul Sembiring, terkait dengan pelanggaran kampanye Pemilu lebih awal dalam demo anti Israel atas serangan ke Jalur Gaza, dengan sudut pandang “membela” Tifatul. Sementara pada hari yang sama Suara Pembaruan memuat tentang dukungan yang kuat terhadap upaya pembentukan propinsi Tapanuli (Protap) yang dimotori tokoh-tokoh Kristen suku Batak. Jelaskan mengapa demikian dengan pendekatan teori Agenda Setting.

a. Teori Agenda Setting merupakan kemampuan media massa untuk menyampaikan kepentingan dari berita-berita yang ada didalam agenda mereka terhadap agenda yang ada didalam masyarakat. Berbagai level dari Agenda Setting adalah :

1) Agenda Setting Tingkat Pertama. Pada level ini media menggunakan obyek atau permasalahan untuk mempengaruhi masyarakat. Pada level ini media menyarankan kepada masyarakat apa yang mereka harus pikirkan.

2) Agenda Setting Tingkat Kedua. Pada level ini media memfokuskan diri terhadap karakteristik dari suatu obyek atau masalah tertentu dan media juga menyarankan kepada masyarakat bagaimana mereka harus berpikir terhadap masalah tersebut. Ada dua tipe atribute yang digunakan, kognitif (substansi atau topik) dan afektif (evaluatif atau positif, negatif, netral).



b. Dalam fungsinya agenda setting memilliki beberapa komponen yang saling terkait satu sama lainnya yaitu :

1) Agenda Media, yaitu merupakan wacana Isu-isu didiskusikan di dalam media.

2) Agenda Publik, merupakan Isu-isu didiskusikan dan secara personal berhubungan dengan anggota-anggota dari suatu komunitas atau masyarakat.

3) Agenda Kebijakan adalah Isu-isu yang dianggap penting oleh para pembuat kebijakan atau pemerintah.

4) Agenda Perusahaan yaitu Isu-isu yang dianggap penting bagi perusahaan dan pelaku bisnis.

Dari pemahaman pertanyaan di atas, Koran Republika jelas menggunakan pendekatan Agenda Setting Tingkat Pertama, yaitu dengan pemberitaan mengenai diadukannya ke polisi seorang tokoh muslim yaitu Presiden PKS Tifatul Sembiring, terkait dengan pelanggaran kampanye Pemilu lebih awal dalam demo anti Israel atas serangan ke Jalur Gaza dengan sudut pandang “membela” Tifatul, untuk mempengaruhi masyarakat dan apa yang mereka harus pikirkan, hal ini digunakan untuk menghasilkan opini dan membangkitkan emosi pembaca, sehingga pembaca tergugah dan mendukung upaya tokoh muslim yang dipelopori oleh PKS tersebut. Apalagi dikaitkan dengan rencana Pemilu yang menuntut kemenangan PKS itu sendiri sangat mungkin dilakukan dengan memanfaatkan situasi dunia Islam, yang pada waktu itu kebetulan sedang terjadi serangan Israel Ke Gaza, sehingga dijadikan suatu momen kampanye terselubung untuk menarik simaptisan masyarakat.

Sedangkan Suara Pembaruan pada hari yang sama memuat tentang dukungan yang kuat terhadap upaya pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap) yang dimotori tokoh-tokoh Kristen suku Batak. Dalam hal ini jelas Suara Pembaruan menggunakan Agenda Setting Tingkat Kedua. Dimana pada level ini media memfokuskan diri terhadap karakteristik dari suatu obyek, yaitu Propinsi Tapanuli Utara atau masalah tertentu, dalam hal ini menyangkut upaya tokoh-tokoh Kristen Suku Batak untuk berjuang mendirikan wilayah dengan latar belakang Kristiani dimana media juga menyarankan kepada masyarakat bagaimana mereka harus berpikir terhadap masalah tersebut.

Apabila kita lihat dari latar belakang kedua muatan berita dari media-media ini ini sangat berbeda dengan dua gaya pemberitaan yang nyaris berseberangan karakter, hal ini tentunya dilatarbelakangi oleh faktor fundamental dari misi masing-masing koran yang dibawa oleh kedua media tersebut. Republika berhaluan Islam sedangkan Suara Pembaruan berhaluan Kristiani. Namun dalam pemberitaan tersebut antara satu sama lain tidak ada hubungannya dan bukan merupakan suatu tandingan pemberitaan, melainkan semata-mata kesamaan peristiwa dan kesamaan kepentingan jurnalis masing-masing media dengan topik dan redaksi yang berbeda dengan model penyampaian masing-masing media yang didasarkan pada misi masing-masing.

3. Studi kasus. Pada acara sertijab Kasau (bintang 4), Dispenau mengundang wartawan untuk meliput kegiatan yang tentu saja menurut kalangan TNI AU sangat penting. Namun ternyata jumlah wartawan yang hadir jauh lebih banyak pada acara sertijab Kapolda Jaya (bintang 2). Mengapa hal itu bisa terjadi? Jelaskan dari sudut pemahaman anda tentang kepentingan wartawan dalam meliput suatu kegiatan.

a. Wartawan merupakan penyambung informasi yang disampaikan dalam sebuah berita terdapat subjektivitas penulis. Dimana dalam kehidupan masyarakat biasa, isi dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Berita akan dipandang sebagai naskah suci yang penuh dengan objektivitas. Namun bagi kalangan tertentu yang memahami gerak pers, akan menilai lebih dalam terhadap isi pemberitaan, yaitu dalam setiap penulisan berita menyimpan misi tertentu. Seorang wartawan pasti akan memasukkan ide-ide mereka dalam analisis terhadap data-data yang diperoleh di lapangan. Hal ini akan memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pembaca. Pembaca akan lebih memahami mengapa seorang penulis memuat berita sehingga seminimal mungkin menghindari terjadinya respon yang reaksional.


b Ada beberapa metode yang digunakan untuk menganalisa berita, yaitu analisis isi, analisis bingkai, analisis wacana, dan analisis semiotik. Semuanya memiliki tujuan yang berbeda-beda, disesuaikan dengan target pelaku analisis dalam menarik suatu kesimpulan untuk menarik perhatian pembaca. Dimana hampir sebagian kita ketahui bahwa media masa yang ada di Indonesia mempunyai area kerja sama berita yang luas, bukan hanya kalangan tertentu akan tetapi seluruh level masyarakat. Terdapat lima fungsi utama pers yang berlaku secara universal yaitu: Informasi, Edukasi/mendidik, Koreksi/kritik, Rekreasi/hiburan, Mediasi/perantara (penyambung lidah)

c. Pada pemberitaan mengenai Serah Terima Jabatan kasau dilihat dari sisi publisitas, universalitas dan objektivitas tidak sama dengan karakteristik pemberitaan yang lain. Pemberitaan tersebut memang tidak akan sama porsinya di setiap media, apalagi skala pemberitaan media yang ada di Indonesia yang memiliki lingkup nasional dan pada saat yang bersamaan ada pemberitaan lain yang lebih menarik dan informatif untuk diliput. Lain halnya apabila berita yang disajikan mengenai dunia kedirgantaraan, seperti demo udara, dimana melibatkan emosi dan imajinasi pembaca untuk ikut dalam agenda penulis. Konsep publikasi berita dan liputannya masih harus melalui beberapa tahap misalnya pihak redaksi yang masih harus mengedit ulang keseluruhan liputan sesuai dengan kepentingan media dan informasi apa yang dianggap layak atau penting untuk diinformasikan kepada masyarakat, dan apakah ada unsur lainnya yang terikat kepada pemberitaan tersebut.

d. Namun apabila dilihat secara realita pemberitaan mengenai sertijab Kapolda Metro Jaya jauh lebih dekat secara emosional dan sosial dengan masyarakat/pembaca dibandingkan dengan pemberitaan sertijab Kasau. Di dalam struktur sosial masyarakat, posisi Kepolisian sifatnya lebih dekat kepada semua lapisan masyarakat, semua orang lebih mengenal tugas Polisi yang memiliki pengaruh langsung terhadap masyarakat sehingga dapat memenuhi karakteristik universalitas dibandingkan dengan tugas Kasau, yang mungkin hanya kalangan tertentu yang mengetahuinya. Dalam hal ini, harus diingat sampai saat ini masyarakat masih banyak yang awan terhadap keberadaan TNI AU sementara media tujuan utamanya mencari populeritas dalam setiap pemberitaanya, sehingga pemberitaan tentang sertijab Kapolda jauh lebih menguntungkan media dalam mencari popularitas.

e. Maka jika dilihat dari sisi agenda setting, dapat digolongkan tingkat dua, dimana media memfokuskan diri terhadap karakteristik dari suatu obyek atau masalah tertentu dan media juga menyarankan kepada masyarakat bagaimana mereka harus berpikir terhadap masalah tersebut. Ada dua tipe atribute yang digunakan, kognitif (substansi atau topik) dan afektif (evaluatif atau positif, negatif, netral). Pemberitaan media mengenai sertijab Kasau mungkin dianggap tidak sesuai dengan agenda media dan agenda publik tapi lebih kepada agenda mengenai kebijakan tertentu, sehingga nilai jual berita tersebut sangatlah kecil, karena koran tetap berorientasi pada keuntungan maka oleh karena itu koran akan mengejar pemberitaan yang mudah diterima oleh publik secara sederhana dengan pengetahuan yang dimiliki publik.

4. Menurut anda, topik atau issue apa di lingkungan TNI AU yang bisa “dijual” kepada media, sehingga kegiatan TNI AU banyak diliput oleh media ? Langkah – langkah yang harus dilakukan, sehingga TNI AU makin populer ditengah – tengah masyarakat ?

a. Suatu media massa memiliki arti yang sangat penting dalam membentuk citra pribadi maupun suatu organisasi. Reformasi yang dilakukan oleh TNI dari dalam sudah menjadi agenda yang harus dilaksanakan, namun bagaimana publikasinya, menjadi kendala yang masih mengganjal. Dalam hal ini, peran dan fungsi dari Dinas Penerangan TNI baik tingkat Mabes TNI, Mabes TNI AU atau Kotama, sangatlah penting dalam bagaimana menciptakan suatu kondisi opini dalam masyarakat merasa perlu kehadiran TNI, masyarakat merasa perlu adanya TNI sebagai pelindung dan masyarakat harus merasakan peran aktif TNI bagi mereka. Maka diperlukan peran langsung serta pendekatan yang serius dari pimpinan terhadap unsur-unsur diluar TNI yang secara tidak langsung menjadi alat pemberitaan tentang pemberitaan citra TNI yang harus dibangun dalam masyarakat luas. Apabila kondisi tersebut dapat kita tercapai, apabila media masa dan masyarakat akan memberikan kontribusi informasi yang positif dan setiap kegiatan yang dilaksanakan akan mempunyai nilai positif dari segi jurnalistik.

b. Langkah utama yang harus dilakukan saat ini adalah, melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan memberikan tindakan yang nyata yang apresiatif sehingga dapat dilakukan secara kongkrit dirasakan oleh masyarakat. Peran dan tugas yang dilaksanakan oleh TNI sebagai alat keamanan adalah sesuatu yang dipersepsikan, kesan yang timbul setelah orang melakukan interaksi dengan obyek. Kuat tidaknya, baik positif maupun negatif, sebuah kesan tergantung dari intensitas, lama dan seringnya interaksi itu, karenanya peran dan fungsi sosial dimasyarakat harus tetap dipertahankan. Upaya peningkatan citra TNI pada umumnya dan TNI AU khususnya jangan bergantung hanya pada optimalisasi peran kehumasan atau Dinas penerangan dalam menjalankan tugasnya semata, namun yang lebih penting adalah, bagaiman menumbuhkan pencitraan, bahwa masyarakat merasa perlu adanya TNI AU, masyarakat membutuhkan TNI AU, masyarakat merasa tidak aman apabila tidak ada TNI AU dan masyarakat nyaman apabila dilindungi dengan TNI AU. Disamping melalui media, TNI AU harus melakukan komunikasi langsung kepada publik melalui tindakan yang menyentuh kepentingan masyarakat, wujudkan jati diri prajurit pejuang dan prajurit profesional bagi bangsa. Apa yang dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat akan menimbulkan kesan dan dukungan dari pada sekedar laporan di media massa.

c. Pembentukan citra yang dapat dibina dimasyarakat pada saat ini adalah mengenalkan lebih dahulu TNI AU kepada masyarakat dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kedirgantaraan. Kegiatan yang bisa dijadikan pencitraan yang positif terhadap TNI AU, antara lain adalah Bakti sosial yang bukan hanya sekedar rutinitas, tetapi langsung dapat menyentuh masyarakat, lebih berani membuka diri dengan kehidupan masyarakat luas dengan memberikan kesempatan kepada prajurit TNI AU untuk maju dan berkembang tidak hanya di dalam lingkungan TNI AU, sehingga masyarakat bisa melihat kemampuan para prajurit TNI AU disamping itu, kebiasaan lama, yaitu memberikan hiburan kepada masyarakat awan seperti kegiatan yang bersifat pertunjukan kedirgantaraan dengan harapan dapat melibatkan emosi dan imajinasi masyarakat untuk melibatkan diri mereka terhadap hal yang mereka lihat, pertunjukan olah raga dirgantara atau pameran kedirgantaraan yang lain yang menarik untuk diliput masih bisa kita laksanakan. Dalam kurun waktu saat ini masyarakat saat ini belum mengenal peran dan tugas TNI AU sebagai penjaga kedaulatan negara di udara, sehingga masyarakat pun tidak mengenal keberadaan TNI AU secara optimal, untuk itu biar masyarakat lebih mengenal tugas dan tanggung jawab TNI AU, tunjukan kepada masyarakat umum eksistensi TNI AU sebagai komponen utama pertahanan negara.


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Archithings. Powered by Blogger